Antara Idealisme dan Realita

By Fryda HS - 2:43 AM


Belakangan ini saya semakin menyadari, jika saya sedang memasuki masa pasca kampus atau early adulthood, dimana idealisme biasanya sedang naik-naiknya. Ditambah lagi dengan pembentukan pre-frontal cortex otak yang berfungsi sebagai badan eksekutif pusat perilaku sosial, karakteristik dan pengambilan keputusan juga sudah hampir mencapai puncaknya. Kalau sudah seperti ini, apalagi di kehidupan people-people jaman now yang semakin creepy dan penuh dramaisasi, sudah sepatutnya kita memiliki idealisme. 
Tapi idealisme yang seperti apa yang ideal menurut kita?
Jika landasan utama idealisme tersebut hanyalah berdasarkan ego dan hawa nafsu semata, jelas tidak layak jika disebut sebagai idealisme. 
Menurut saya idealisme yang paling ideal untuk kita pegang adalah idealisme yang menyangkut hal-hal yang bersifat paling essential bagi saya sebagai seorang Muslim. Sehingga, idealisme tersebut dapat digunakan sebagai landasan untuk mengambil segala keputusan sebelum bertindak.
Bagaimana contoh konkretnya dalam kehidupan pasca kampus? Misalnya, kalau kita ditawarkan untuk bekerja disuatu perusahaan bonafide yang mana mewajibkan untuk menggadaikan jilbab kita, ya jangan mau. Misal kita berada di suatu perusahaan dimana lingkungannya dipenuhi dengan ghibah dan fitnah, ditambah lagi waktu ibadah semakin sulit dikarenakan lingkungan yang tidak kondusif, ya tinggalkan saja (ini baru saja saya alami sendiri 2 minggu lalu). Misal pekerjaan kita bersinggungan langsung dengan ‘semi-semi KKN versi lembut’, atau riba dan harta yang haram, masa masih galau? sudahi saja lah, hehe. Intinya, frekuensi yang kita pancarkan akan menarik hal-hal yang sefrekuensi dengan kita untuk ada disekitar kita (sama seperti jodoh yha).
Dan benar kata senior-senior saya, bahwa realitas di dunia kerja memang sangat berbeda dari apa yang kita pelajari selama di bangku kuliah. Hanya 10-20% ilmu yang saya pelajari dikampus diterapkan di dunia kerja (apa mungkin saya yang salah jurusan ya, teknik kimia tapi interest-nya ke ranah bisnis :( ). Di dunia kerja masih akan belajar lagi tentang hal-hal baru, membuka referensi baru, dengan formulasi baru, orang-orang dengan karakter yang lebih greget dan baru. Belum lagi tentang tugas dan kewajiban, kalau di bangku kuliah dulu, jika telat masuk kelas mungkin dosennya tidak akan mengijinkan masuk kelas. Laporan praktikum full tulis tangan salah, lalu dilempar dan dibakar di lab sama aslab waktu itu sudah biasa. Dan ketika sidang Tugas Akhir mendadak jadi Raisa-Serba salah yang dimarahi berkali-kali oleh dosen penguji masih belum seberapa jika dibandingkan dengan realita yang terjadi di dunia kerjaShock therapy dan experiental learning ketika di dunia kerja sangat dapat sekali, betul-betul menstimulus kita agar siap memasuki fase adulthood. OK, got it.
Sekarang saya dihadapkan lagi dengan pertanyaan para feminist kekinian, “Nanti kamu mau menjadi wanita karir atau ibu rumah tangga?”
Pertanyaan yang sedikit menyinggung Idealisme dan Realita saat ini, namun akan berusaha saya jawab dengan menggabungkan keduanya. 
Masing-masing kita pasti memiiki pilihannya sendiri dan setiap orang pasti ingin menuju sebuah kesuksesan baik akhirat maupun duniawi. Saya memiliki definisi sendiri tentang apa itu Kesuksesan dalam aspek duniawi. Adalah KebebasanBebas untuk berada dimanapun, kapanpun dan dengan siapapun sesuai kehendak saya. Bebas untuk menentukan pilihan dan keputusan saya sendiri. Bebas untuk menjalankan suatu pekerjaan sesuai dengan apa yang saya sukai dan tekuni. Bebas dari ketergantungan pada seseorang, barang, sesuatu hal, termasuk uang. Dan yang paling pasti adalah tetap produktif serta bermanfaat bagi sekitar. Jika memilih untuk menjadi seorang wanita karir, tetapi tidak dapat bebas dalam mendidik dan mengasuh anak, maka apa gunanya saya bekerja? Sesungguhnya fitrah seorang wanita adalah mendidik, mengasuh anak dan mengurus kegiatan rumah tangganya, sedangkan untuk mencari nafkah adalah kewajiban seorang laki-laki/suami.
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)” (QS. An Nisa’: 34)
Oleh karena itu, sebelum menginjak sebagai figur seorang Calon Ibu Rumah Tangga on-the-one-finest-day ideal saya yang tetap produktif (tetap bekerja tapi tidak melulu tentang mencari nafkah), pintar memasak sambil mengaktualisasikan fitrah seorang Ibu dalam membesarkan dan mendidik anak dirumah, saya ingin mengasah lebih dalam lagi knowledge dan experience saya di dunia kerja, perkuliahan, dan juga business saat iniAgar nantinya dapat dijadikan bekal untuk menjadi ‘A Productive Mom’ ketika di rumahKarena produktifitas tidak selalu diukur dengan pekerjaan diluar rumah dan setiap Ibu berhak untuk menjadi produktif, baik ia adalah seorang ibu rumah tangga, student mom atau working mom.
Tolok ukur suatu produktivitas :
  1. Sejauh mana setiap waktu yang kita miliki dapat senantiasa dioptimalkan dalam setiap amal kebaikan. Terlepas dari ibu manapun dann potensi apapun, setiap orang tidak diciptakan biasa-biasa saja, karena setiap orang adalah khalifah. Tugas seorang Ibu produktif adalah memahami sifat paling mendasar tujuan penciptaan seorang wanita, dsb, lalu kemudian beramal-beramal-beramal. Memanfaatkan setiap waktu senantiasa dalam kebaikan. Sekalipun aktivitas tersebut adalah kegiatan rumah tangga seperti memasak, mengganti popok bayi, membersihkan rumah, dll.
  2. Tidak hanya amal kebaikan tapi harus penuh dengan amal ikhlas dan penuh taqwa. Kenapa? Karena keberkahan suatu amal bergantung pada ikhlasnya niat dan proses pelaksanananya, terlepas dari apapun kegiatannya. Tidak ada amal baik yang terlalu sepele untuk dilakukan. Jangan pernah meremehkan suatu amal yang menjadikan kita lupa kepada Siapa kita beramal. Boleh jadi suatu aktivitas yang kita anggap remeh ternyata Allah limpahkan keberkahan luas di dalamnya. Sebagai contoh, misalkan suatu saat nanti kita melihat suami kita sedang lelah, padahal waktu sempit dan kita tidak dapat memberikan pijitan hangat, ditambah lagi dengan adanya anak-anak dsb, kita memilih sekedar untuk membuatkan minuman kesukaannya, yang di dalamnya terselip doa tulus penuh harap kepada Allah. Kalaulah Allah berkehendak menurunkan keberkahan-Nya, sangat mungkin dari secangkir minuman tsb, ia berubah menjadi rasa sakinah, kemudian sakinah tersebut menjelma berubah menjadi semangat rasa optimis, dari situ ia berbuah lagi menjadi hasil kerja suami yang lebih optimal, suami pun semakin shaleh, kehidupan ekonomi semakin membaik, dst. Dan hal itu bermula dari secangkir minuman yang penuh berkah :).
  3. Jika dihadapkan dengan berbagai prioritas, maka utamakan yang wajib kemudian sunnah, yang banyak manfaatnya dan sedikit mudharatnya. Bagaimana cara mengetahui mana yang baik? Disitulah tugas kita untuk menuntut ilmu, baik ilmu agama, akidah, fiqh, Al-Quran, dan ilmu-ilmu lainnya.
After all, dalam menyikapi segala perbedaan idealisme dan realita pada masa pasca kampus bahkan setelah menikah harus dihadapi dengan bijak dan tetap open minded. Agar kita semua mampu menjadi luar biasa versi kita sendiri, dan versi peran terbaik yang Allah titipkan kepada kita. Dan agar kita semua menemukan penghujung tujuan kehidupan kita, sebagai sesuatu yang penuh makna, Khusnul khatimah. Tumbuh membesarkan generasi yang membawa peradaban manusia menjadi Rahmatan lil alamin.
Wallahualam.


#Inspired By The Real Ummi, Karina Hakman :)

  • Share:

You Might Also Like

0 Comments

Silakan meninggalkan jejak disini. Kritik dan saran kamu sangat dibutuhkan. Thank you! :)