![]() |
Sunrise di Bromo 23 Agustus 2013 |
![]() |
Gunung Kelud, Kediri, 21 Januari 2013 |
![]() |
Kedinginan together di Bromo 23 Agustus 2013 |
![]() |
Pulau Sempu 16 Juni 2013 |
![]() |
Pulau Sempu 16 Juni 2013 |
Sering kita mendengar muda-mudi jaman
sekarang sangat kegirangan ketika hendak mengisi waktu liburan dengan mendaki
gunung atau berlibur ke suatu tempat wisata alam. Bukan begitu ? Entah itu
sebenarnya apakah hanya untuk mendapatkan sebuah kepuasan melalui update status, pamer foto dari gunung
yang dikunjungi, mengikuti trend naik gunung saat ini, dapat pengalaman baru, atau biar keliatan lebih kece
daripada yang lainnya ya? Amat sangat disayangkan sekali ketika seseorang
berlibur ke suatu tempat wisata alam jika tujuannya hanya untuk euphoria dan sebagai pemuas ego dirinya
saja. Apalagi jika sekelompok manusia yang digadang-gadang sebagai ‘pecinta
alam’ melakukan perjalanan ke gunung tetapi realitanya mereka dengan setengah
sadar membuang sampah sembarangan disana, lantas apakah mereka masih pantas
disebut sebagai pecinta alam ? Sekali lagi, manusia tidak pernah tidak untuk
menghasilkan sampah, ya kan ? Jika hal itu benar adanya, masihkah kita tega
untuk berlibur ke sebuah wisata alam dan menodai karya emas-Nya dengan seonggok
sampah yang kita bawa ? Ironis. Sebuah pelajaran simple tapi sering luput dari perhatian kita.
Ada lagi mereka yang mengakui dirinya
sebagai seorang petualang yang hendak mendaki sebuah gunung, “Ayo kita taklukkan Rinjani!”.
Kalau kita kupas lebih dalam lagi
menurut penalaran, apakah benar manusia dapat menaklukkan sebuah gunung raksasa
ciptaan-Nya ? Sepertinya malah dapat menimbulkan kesan manusia sombong. Mengapa
? Seseorang yang mendaki gunung ataupun berwisata alam,
sebenarnya ia sedang menaklukkan dirinya sendiri, serta ego yang selama ini
mengendap di dalam jiwanya. Melawan rasa takut dan merubah cara pandang kita bahwa
kita sebagai manusia itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan sang Pencipta
beserta seluruh ciptaan-Nya yang ada di bumi ini. Bukan begitu ?
Menengok
sejarah sebelumnya, Konsep Pecinta Alam dicetuskan oleh Soe Hok Gie pada tahun 1964. Gie sendiri meninggal pada
tahun 1969 karena menghirup gas beracun Gunung Semeru. Gerakan "Pecinta Alam" awalnya
adalah pergerakan perlawanan yang murni kultur kebebasan sipil atas invasi
militer dengan doktrin
militerisme - patriotik. Perlawanan ini dilakukan dengan mengambil cara
berpetualang dengan alasannya yakni :
"Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami.
Kami katakan bahwa kami adalah manusia - manusia yang tidak percaya pada
slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi (kemunafikan) dan
slogan - slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia
mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan
mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat
dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami
naik gunung." ( Soe Hok Gie - Catatan Seorang Demonstran ).
Sebagai seorang pecinta alam yang
berusaha menjadi sejati, marilah untuk memulai segala sesuatunya dengan tujuan
mulia. Misalnya saja dengan mengubah niatan mendaki gunung, ketika yang tadinya
hanya sebagai pemuas ego, kini saatnya berpetualang untuk meningkatkan
spiritualitas yang ada di dalam batin, kemudian berusaha untuk menghilangkan
sifat-sifat buruk yang ada di dalam diri kita. Tidak hanya itu, manfaat dari
tujuan mulia tersebut dapat mendekatkan jiwa akan segala kebesaran-Nya
serta banyak belajar hal baru dari alam. Semakin kita mengenal betapa eloknya
negeri ini, semakin kita mencintai betapa kayanya bangsa ini, bangsa yang
sedang krisis nasionalisme, bangsa yang sedang membutuhkan kesetiaan bukan
pengkhianatan.
Vivat!!! :)